Berbisnis Itu Sulit di Hulu, Mudah di Hilir

Posted by Kliping Sinopsis Berbagai Berita Dunia Offline

berbisnis jamu herbal

Bila ketika memulai usaha merasa buta, Mochamad Rofian, MBA pasti kini bisa melihat peta bisnis obat tradisional . Dari kapulaga saja direktur utama PT Indotraco Jaya Utama itu memperoleh Rp. 1 milyar per tahun hasil penjualan 10 ton rimpang. Padahal komoditas yang ia ekspor beragam. Kencur misalnya, baru 62 ton yang ia penuhi dari 300 tahun permintaan Singapura per tahun. Industri jamu skala rumah tangga pun menuai berkah dari maraknya pemanfaatan obat tradisional. Setidaknya Rp. 500.000/hari dikantungi Yani di Sukoharjo dari hasil meracik jamu. Omzet industri pabrikan hampir dapat dipastikan jauh lebih besar. Raksasa industri jamu tanah air, PT. Sido Muncul meraup Rp. 90 milyar pada 1999. Prolipid, pil pelangsing tubuh keluaran PT. Indofarma, menyumbang Rp. 7 milyar per tahun.

Apakah itu cermin bagusnya peluang bisnis obat tradisonal? Tunggu dulu, jangan buru-buru mengaitkan tingginya perputaran uang di bisnis itu dengan peluang atau kesejahteraan pekebun. Soalnya, sifat bisnis obat tradisonal sangat khas. Industri jamu hanya percaya kepada pekebun tertentu. PT Indofarma pernah menolak pasokan daun ungu dari pekebun di Pacitan, Jawa Timur, hanya karena cara memanen keliru. Sangat sepele? Boleh jadi, ya.

“Syarat mutu kami tetapkan sangat tinggi. Jangan lupa, kalau kami butuh jahe, bukan jahe kosog tetapi jahe beserta isi kandungan kimia di dalamnya. Kalau kami menolak bukan berarti bukan berarti mencari harga murah, isinya ada tidak? Ini kan untuk jamu, “papar Agung P Murdananto dari Indofarma. BUMN di bawah naungan Departemen Kesehatan itu pantas menerapkan seleksi ketat. Pengalaman getir ketika konsumen “menggugat” Indofarma menjadi pengalaman berharga.

Jalin Kemitraan

Akibat lebih jauh, penanaman bahan baku obat spesifik. “Akar wangi hanya cocok dikembangkan di Garut. Kami pernah mencoba menanam di lereng Merapi dan Lawu, tapi hasilnya jelek,”ujar Agung. Oleh karena itu Indofarma yang menerapkan kemitraan “mengkavling” area penanaman. “Ling zhi hanya di Subang, maitake di Cianjur. Kalau Subang minta maitake, kami tolak,”tutur Agung. Hal serupa juga ditetapkan PT Indotraco Jaya Utama yang membina puluhan pekebung Kendal, Jawa Tengah.

Pengkavling seperti itu tentu saja menutup pintu bagi pekebun di luar area yang ditetapkan untuk memasok ke Indofarma. Boleh dikatakan industri jamu atau obat tradisional menjalin kemitraan guna menjaga kontinuitas pasokan bahan baku. Pasalnya, industri jamu atau eksportir tak memiliki lahan sendiri. Sebetulnya, kemitraan juga upaya menjaga kualitas produk yang dihasilkan.

Perusahaan sebagai mitra member bimbingan teknis budidaya sehingga bahan baku sesuai standar mutu yang ditetapkan. Indofarma melibatkan Fakultas Pertanian UGM untuk membina plasma yang menanam nilam di Kulonprogo, Yogyakarta. Beberapa inti semacam Indofarma juga menyalurkan modal kepada plasma. Untuk memperolehnya pekebun tak perlu member agunan. “Punya surat mobil, fotokopi, serahkan ke kami,”ujar Agung merinci mudahya proses penyaluran modal bagi plasmanya.

Yang penting mereka benar-benar pekebun, bukan calo. Bunga yang dibebankan juga cukup ringan 5% pertahun. Dengan kemitraan itu plasma tak usah pusing memasarkan hasil panen seperti pekebun jati belanda binaan Indofarma. Setiap bulan produsen obat itu membutuhkan 12 ton daun kati belanda kering sebagai bahan baku Prolipid. Setelah diolah menghasilkan 20.000 botol.

Permintaan Tinggi

Meskipun Agung melukiskan pasar obat tradisional “di depan mata” tetapi untuk meraihnya sangat sulit. Namun, bukan berarti harus patah arang. Bagi pekebun atau eksportir jika standar mutu dipenuhi pasar yang di pelupuk mata itu gampang terengkuh. Mochamad Rofian betul-betul merasakannya. Mantan manajer di PT Indofood Sukser Makmur itu hengkang dari produsen mi instan setelah mencium aroma bisnis rempah-rempah dan obat tradisional.

Tiga tahun lalu ia mengibarkan PT Indotraco Jaya Utama dengan modal Rp. 200 juta hasil menggadaikan sertifikat tanah. Komoditas andalannya: kapulaga yang mengisi pasar pasar Singapura. Setiap bulan, negeri pulau itu membutuhkan 15 ton kapulaga gelondong dan 6 ton kapulaga kupas. Namun, Rofian tak dapat memenuhinya. “Lima tahun ke depan kebutuhan kapulaga bakal meningkat karena negara konsumen bertambah. Di India saja kapulaga seperti kacang yang dikonsumsi sehari-hari,”ujar Rofian. Itu yang menyebabkan Rofian memperluas lahan menjadi 200 ha, dari sebelumnya hanya 50 ha.

Harga tinggi ---- di pasar internasional harga kapulaga kering mencapai Rp. 70.000 ---- menggairahkannya. Untuk menghasilkannya dibutuhkan 8 kg produk basah. Kuit kupasan kapuluga juga tak terbuang percuma lantaran ia menjual ke produsen jamu seharga Rp. 5.000 per kilo.

Pasar Lokal

Di pasar lokal permintaan bahan baku obat tradisonal juga tinggi. Ny Sukamto, pedagang di pasar Legi, Solo mampu melepas hingga 2 ton kepada produsen jamu. Padahal dalam sepekan permintaan bisa dua atau tiga kali. Pedagang pengepul itu memperoleh pasokan dari beberapa pekebun yang tersebar di berbagai kota seepeti Pacitan, Yogyakarta, bahkan Lampung.

Walau hanya mengambil untung Rp. 100 atau Rp. 200 setiap kilo, Ny Sukamto mengungkapkan omzet penjualan simplisia mencapai Rp. 3 juta per hari. “Saya merasa sudah mantap menjual barang ini. Dari hasil penjualan, kami bisa menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak, dan suami saya sudah berhaji,”ujar Ny Sukamto yang 30 tahun menggeluti bisnis itu.

Ny Subroto yang sudah 40 tahun menekuni bisnis jamu selangkah lebih maju. Ia mengolah bahan-bahan itu menjadi tepung. Untuk memperoleh bahan baku ia mengandalkan pasokan dari beberapa pekebun di Purwokerto, Magelang, atau Yogyakarta. Dengan mengolah bahan baku nilai tambahpun kian besar sehingga pendapatan per hari mencapai Rp. 4 juta. “Tapi kalau sepi hanya Rp. 2 juta,”ujar Ny Subroto yang membuka kios di Beringharjo, Yogyakarta.

Tidak melulu bahan baku yang tinggi permintaannya. Setelah diolah pun permintaan tetap tinggi seperti di akui 35 produsen di Nguter, Sukoharjo. Menurut ketua Koperasi Jamu Indonesia yang membina 35 produsen itu, Suwarsi Moertedjo, pemasaran jamu tak hanya di Jawa, tetapi juga ke luar pulau. Usai Lebaran kios-kios jamu di pasar Nguter dipenuhi pembeli.

Mereka umumnya masyrakat Jawa yang merantau ke Makasar, Palembang, atau Jambi. Pulang kampong dimanfaatkan pula untuk belanja jamu. Namun, di luar lebaran mereka hanya memesan melalui telepon. Wajat jika industri rumahan berskala besar di Sukoharjo itu meraup hingga Rp. 25 juta, sementara yang skala kecil Rp. 4 juta perbulan. Jika demikian kendala mengebunkan tanaman obat sudah selayaknya bukan untuk dihindari. Soalnya, dibalik kesulitan itu ada kemudahan.



Sinopsis majalah trubus 375 Februari 2001

Related Post